Satu Kalimat, 50 ribu Massa: “Surat” Dari Pati Untuk Pejabat Kita”
![]() |
Deny Wahyu Tricana,M.I.Kom (Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo) |
Sebagai warga yang menyimak dari dekat, tulisan ini bukan untuk menambah gaduh, melainkan untuk menagih pelajaran yang semestinya kita ambil dari Pati. Di sana, satu kalimat pejabat berubah menjadi bara, menyulut kekecewaan yang sudah kering oleh kebijakan yang terasa berat di kantong. Yang menyedihkan, drama itu bukan yang pertama dan pasti bukan yang terakhir. Kita seperti bangsa yang mahir mengulangi kesalahan komunikasi, seakan-akan kata-kata adalah hal sepele, padahal di mata publik, kata-kata pejabat adalah kebijakan itu sendiri, yang akan membentuk bingkai, memantik emosi, dan menentukan arah legitimasi.
Bukan hendak mengadili siapa pun, tetapi sebagai pembaca yang menyimak arus data, saya melihat eskalasi di Pati memperlihatkan satu hal, di era platform digital, perhatian publik bergerak seperti gelombang yang saling memantul antara pencarian di internet, pemberitaan media, dan percakapan di media sosial. Ketika perhatian memuncak di satu titik, ia mendorong produksi konten lebih banyak, yang pada gilirannya mendorong orang lain mencari lebih jauh, lalu kembali menambah cadangan perhatian. Siklus semacam ini sering tidak kasatmata di level kantor, tetapi di timeline warga, ia kelihatan seperti tiang listrik yang menyala terang, berderet, dan mudah diikuti alirannya dari satu unggahan ke unggahan lain.
Bisa jadi, dalam rentang pekan pertama Agustus 2025, pencarian atas kata “Bupati Pati” di Google mencapai skor 100, level puncak. Di mesin pencari maupun di media sosial, simpul-simpul percakapan mengerucut pada isu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sosok Plt Sekda Pati dan narasi tentang gaya komunikasi bupati. Ini menunjukkan betapa cepatnya perhatian publik disekat ke dalam bingkai yang spesifik, dan betapa beratnya tugas pemerintah bila hendak merubah haluan narasi ketika puncak perhatian sudah terlanjur lewat.
Mari kita bicara jujur. Kebijakan publik yang menyentuh dompet, berapapun alasan rasionalnya, selalu mengandung muatan emosional. PBB, retribusi, tarif pelayanan dan lain sebagainya, semua itu bisa dirasakan langsung di “meja makan”. Ketika pemerintah datang dengan angka dan tabel tanpa empati di kalimat pertama, publik mendengar sinyal tunggal “beban ini urusan kalian, bukan urusan kami.” Sinyal itu adalah benih kemarahan. Dan ketika benih itu disiram oleh diksi menantang, ia tumbuh seketika menjadi kesimpulan yang sulit dibalikkan, arogan, tidak peka, dan jauh dari rakyat.
Bahan bakar berikutnya “simbol”, di Pati, kabar tentang penyitaan donasi, seperti air mineral, mencederai sesuatu yang lebih dalam dari prosedur dan rasa gotong royong. Boleh jadi secara teknis ada alasannya, namun di mata warga, itu seperti menampar solidaritas. Kamera ponsel bekerja tanpa komando, gambar-gambar singkat bergerak lebih cepat daripada siaran pers. Inilah yang sering dilupakan pejabat, tindakan teknis di lapangan selalu berdampak simbolik. Sekali salah gambar, seribu kalimat klarifikasi tak banyak menolong.
Lalu ada mesin yang tak pernah tidur, yaitu algoritma. Satu video adu mulut berpadu dengan narasi menantang adalah umpan empuk bagi platform. Ia menyala, disalin, dipotong, dikomentari. Ketika perhatian memuncak, fakta bercampur opini, dan wacana cepat melompat dari substansi kebijakan ke karakter pejabat. Pada titik ini, para pengambil kebijakan, tidak sedang berhadapan hanya dengan lawan politik, tapi sedang berlomba dengan kecepatan sirkulasi klip 60 detik. Respons lambat, nada salah, dan format keliru adalah tiga serangkai yang menjamin kekalahan.
Dalam konteks Pati, satu kalimat yang dibaca publik sebagai “tantangan” seketika menjadi kunci penilaian “prime” yang membungkus semua informasi berikutnya. Ketika publik sudah ter-prime ke arah “arogansi,” data setebal apa pun mudah dipandang sebagai dalih. Karena itu, di masa krisis, strategi terbaik bukan membantah, melainkan menurunkan tensi, sampaikan empati, tunjukkan koreksi, jelaskan tindak lanjut yang konkret. Roda opini jarang balik arah oleh debat, ia berubah ketika warga melihat niat baik yang dinyatakan dalam tindakan.
Apa pelajarannya bagi pejabat? Mulai saat ini berhenti menganggap pernyataan publik sebagai seremoni. Perlakukan setiap kalimat sebagai intervensi kebijakan yang harus melewati uji risiko. Tiga detik sebelum berujar, tanyakan, apakah kalimat pembuka ada pengakuan beban warga? Apakah kalian para pejabat menjelaskan “mengapa” dengan jujur, bukan sekadar jargon? Apakah kalian para pejabat menawarkan “bagaimana” mitigasinya? Apakah ada penahapan, keringanan, dan ada forum keberatan? Jika salah satu jawabannya “tidak”, tarik napas, revisi, dan tunda untuk mendekati “mikrofon”. Kebijakan sensitif wajib didahului ruang partisipasi yang nyata. Bukan seremonial, melainkan pertemuan dengar pendapat yang benar-benar mendengar dengan ringkasan tertulis, simulasi perhitungan yang bisa diaudit, dan saluran keberatan yang punya tenggat waktu jelas. Jangan biarkan warganet menjadi satu-satunya forum. Jika saluran formal absen, ruang publik akan pindah ke jalan dan ke linimasa, dan di sanalah opsinya menyempit, marah atau diam.
Pemerintah yang mengklaim demokratis tak boleh memproduksi kebijakan yang terasa datang dari langit. Namun pelajaran bukan hanya untuk pejabat. Kita sebagai masyarakat, juga harus tetap kritis tanpa menjadi kejam. Kita harus biasakan memeriksa sumber sebelum menyebar, jangan jadikan amarah alasan untuk menjadi corong kabar palsu, hindari persekusi dan penghinaan personal, karena demokrasi matang jika kritik ditemani etika.
Kita tahu, ingatan segala informasi dari internet, dan jejak digital sanggup memanggil kembali detik-detik yang ingin kita lupakan. Tetapi percayalah, ingatan warga lebih panjang lagi, mereka mengingat siapa yang merendahkan dan siapa yang merangkul. Karena itu, jangan berharap isu padam sendiri. Yang padam hanya kesempatan memperbaiki bila Anda telat merespons. Di republik yang kian terbuka, kepercayaan adalah bahan bakar yang mahal. Ia lahir dari konsistensi, ketepatan format, dan ini yang paling sulit, yaitu kerendahan hati.
Untuk para “petugas”, kita semua paham, ketertiban umum memang harus dijaga. Namun praktik pengamanan mesti peka pada “moral ekonomi” warga. Menjaga ketertiban tidak boleh mewujud menjadi tindakan yang dalam pandangan publik, menabrak nilai bersama seperti gotong royong. Di sinilah pelatihan komunikasi untuk petugas lapangan menjadi relevan, bukan hanya prosedur, melainkan juga pengetahuan tentang makna simbolik tindakan. Pada detik yang tepat, mundur satu langkah bisa lebih efektif menyelamatkan wibawa pemerintah daripada maju setengah langkah tetapi tertangkap kamera.
Kepada pejabat di mana pun berada, perlu diingat tiga detik sebelum berujar, yaitu empati, alasan, koreksi. Bicaralah seolah-olah kepercayaan publik harus Anda menangkan kembali setiap hari. Kepada sesama warga, teruslah kritis, tetapi adil, bersuara lantang, tetapi beretika. Jangan biarkan satu kalimat yang keliru menjadi alasan untuk kehilangan akal sehat kita. Dari Pati, kita belajar, satu kalimat bisa menyalakan api, tetapi satu kalimat juga bisa memadamkannya.
Berhati-hati menyusun kebijakan, dan lebih berhati-hati lagi saat menyampaikannya ke publik. Pilih diksi yang jernih, jangan menganggap keheningan sebagai persetujuan. Libatkan publik sejak awal, ada dengar pendapat, simulasi perhitungan dan jalur keberatan. Satu juru bicara yang konsisten lebih menenteramkan daripada banyak suara yang saling bertabrakan, karena bisa jadi masyarakt tidak anti pajak, tetapi hanya menolak keputusan yang turun dari langit. Negara kuat bukan karena berani menaikkan beban, melainkan karena berani menjelaskan, mendengar, dan mengoreksi. Jika rasa keadilan diabaikan, protes bukan gangguan, itu adalah alarm yang harus didengarkan. Masyarakat siap diajak bicara, asal diperlakukan sebagai warga negara, bukan objek uji coba. (Deny/red/eSWe)