🔵 NEWS

Antara Sumoroto danTegalsari

 

Oleh: Izzuddin Rijal Fahmi (Dosen Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah UIN Ponorogo)


Sumoroto—ada yang menuliskan Somoroto [ejaan van Ophuijsen: “Soemoroto”; dalam ejaan Jawa: “Sumarata”,dari kata “kusuma” (bunga), dan “rata” (penuh, dipenuhi)]—dulunya merupakan kabupaten yang cukup diperhitungkan pada abad XIX. Babad Ponorogo mencatat Kabupaten Sumoroto berdiri sekitar tahun 1780–1887. Sementara dalam laporan Belanda yang lebih akurat, Sumoroto secara resmi ada sejak tahun 1800 dan dihapuskan 1877 [Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië]. Pasca 1877, Sumoroto bukan lagi sebagai kabupaten, tetapi kawedanan, yang meliputi Kauman, Sukorejo, Sampung, dan Badegan; sampai tahun 1963 [berdasarkan Perpres No. 22 Tahun 1963].


Kabupaten Sumoroto pernah dipimpin atau dijabat oleh darah Tegalsari, Raden Mas Tumenggung [gelar sebelum R.M.A.A.] Tjokronegoro (sekitar 1811–1900, menjabat Bupati Sumoroto, 1861–1869). Tjokronegoro atau Raden Mas Koesen adalah putra dari Kangjeng Kyai Bagus Kasan Besari (1762–1862). Salah satu putri Tjokronegoro, Raden Ayu Djoharinapsi, pada tahun 1877 tercatat menjadi guru di daerah Mojoroto [belum diketahui pasti Mojoroto yang dimaksud apakah di Sukorejo (Kawedanan Sumoroto) atau yang lain].


Bupati Ponorogo, Pangeran Adipati Arya Koesoemo Joedo (menjabat, 1916–1927), dalam laporannya yang bertajuk: “Schets van den rechtstoestand der Perdikandesa’s in het Regentschap Ponorogo” [Gambaran Status Hukum Desa Perdikan di Kabupaten Ponorogo], tahun 1926, mencatat terdapat sembilan desa perdikan (bebas pajak) di Ponorogo, yang meliputi:

(1) Tegalsari dan Dusun Setono (Kaw. Arjowinangun),

(2) Karanggebang dan Dusun Pohlimo (Kaw. Arjowinangun)

(3) Setono dan Dusun Gondoloyo (Kaw. Ponorogo)

(4) Tajug (Kaw. Ponorogo)

(5) Tamanarum (Kaw. Ponorogo)

(6) Srandil (Kaw. Sumoroto)

(7) Menang (Kaw. Sumoroto)

(8) Nglarangan (Kaw. Sumoroto)

(9) Pulung Merdiko (Kaw. Pulung)


Perdikan Srandil merupakan usulan dari Bupati Somoroto, Raden Tumenggung Soemonegoro (menjabat, sekitar 1820–1851), kepada Raja Keraton Surakarta waktu itu, Paku Buwono VII (bertakhta, 1830–1858), untuk dijadikan tempat persemayamannya beserta anak turunnya. Namun, takdir berkata lain; beliau wafat dan dikebumikan di kompleks Makam Sunan Ampeldenta, Surabaya.


Raden Tumenggung Soemonegoro dikenal sebagai bupati yang memperhatikan urusan keagamaan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa poin penting berikut: Pertama, dia meminta Pesantren Tegalsari untuk mengirim salah satu santri (sekaligus keturunan) yang ditempatkan sebagai Lurah Perdikan sekaligus imam masjid di Srandil. Kyai Mukibat, putra Kyai Ismangil (anak ketiga dari Kyai Ageng Tegalsari). Keponakannya, Kyai Munobiyat (putra Kyai Kasan Yahya) juga menjadi imam di Srandil, namun tidak menjabat lurah [secara berturut-turut, Lurah Perdikan Srandil: (1) Kyai Mukibat, Tegalsari; (2) Kyai Kasanmustar (putra Kyai Mukibat); (3) Kyai Imam Redjo (w. 1907); (4) Kyai Imam Dipuro (w. 1942); (5) Raden Soemodihardjo (w. 1950)].


Kedua, Kyai Basarsari (putra Kyai Suheb; Kyai Suheb putra Kyai Ilyas) diangkat sebagai Lurah Perdikan Menang sekaligus imam masjid sampai tahun 1843 dan digantikan oleh putranya, Kyai Karyo Besari (menjabat, 1843–1867). Ketiga, Raden Tumenggung Soemonegoro mendirikan masjid kabupaten dengan mendatangkan imam dari Blora, Kyai Mukarom [wafat: Ramadhan 1237 H/Mei–Juni 1822 M]. Berdasarkan cerita tutur, Kyai Mukarom pernah nyantri di Tegalsari. Tentunya dalam periode ini pada masa Kyai Ilyas (w. 1800) atau generasi kedua Tegalsari. Pasca 1822, imam masjid sekaligus jabatan pengulu kabupaten digantikan oleh putranya—dengan menggunakan nama sang ayah (asma nunggak semi), Kyai Mukarom II.


Sebuah arsip kolonial (yang disimpan di Schaarsbergen, Belanda), yang bertajuk “Verbaal [Risalah Rapat] 29 Augustus 1860 No. 11”, mencatat sebuah kasus besar yang melibatkan nama Kyai Mukarom dari Sumoroto [yang dimaksud Kyai Mukarom II]. Kasus yang terjadi pada 1859 itu adalah pembunuhan istri Kyai Mukarom II oleh Bupati Sumoroto, Raden Mas Tumenggung Arya Koesoemodiningrat [menantu Bupati Wedana Madiun, Pangeran Adipati Ronggo Prawirodiningrat (menjabat, 1822–1859)]. 


Kyai Mukarom II kemudian digantikan oleh putra menantunya (anak kelima), Kyai Edris, putra ketiga Kyai Haji Abdul Manan Dipomenggolo (w. 1278 H/1862 M), pendiri Pesantren Tremas, Pacitan. Yang disebut terakhir (dengan nama santri, Bagus Darso) merupakan santri Tegalsari pada masa Kangjeng Kyai Bagus Kasan Besari. Kyai Mukarom II wafat sekitar tahun 1885 dan meninggalkan 7 putra:

1. Kyai Kasan Minhaj (Lurah Ketib Magetan)

2. Kyai Anom Broto (Naib Bungkal)

3. Nyai Kasan Minbar (Naib Slahung)

4. Kyai Mahmud (Blora)

5. Nyai Edris (Pengulu Sumoroto)

6. Kyai Imam Mustopo (Pengulu Dolopo)

7. Kyai Imam Dipuro (Pengulu Ngawi).

Latest News
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Post a Comment