Cerpen inspiratif oleh Rina Dwi Rahmawati |
Senja selalu memberikan kesan yang berbeda pada setiap mata yang memandangnya. Senja yang indah, memancarkan harapan yang mulai terangkai dalam pikiran. Seorang lelaki sedang asyik memberi makan pada hewan ternak. Dua ekor kambing itu dengan suka cita mengunyah rerumputan yang tersaji. Jauh dilubuk hati yang paling dalam, saat tangan itu memberi makan, lelaki itu berdoa. Semoga makanan ini bisa membuat kenyang hewan ternaknya. Tumbuh dengan sehat dan bobot bertambah. Karena ia mempunyai misi yang tergantung pada kesehatan hewan ternak itu.
“Yoga, jangan lupa ngantar laundry milik Bu Kasim.” Suara seorang perempuan membuat kegiatan Yoga dipercepat.
“Iya, Bu.” Yoga segera berjalan menuju dalam rumah. Di ruang tamu sudah berjajar beberapa kantong tempat laundry yang siap di kembalikan pada pemiliknya. Dengan cekatan anak lelaki itu mengambil laundry milik Bu Kasim, mengantarkannya dengan mengendarai sepeda. Seorang lelaki yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu dengan penuh semangat membantu pekerjaan orangtuanya. Ia tak merasa malu dengan keadaannya saat ini, jika yang lain bisa mendapatkan yang mereka inginkan dengan hanya meminta pada orangtuanya. Tidak dengan Yoga, lelaki itu harus menabung dulu, agar keinginannya tercapai. Karena setiap yang bernafas harus berjuang dan menerima apa yang ditetapkan oleh-Nya.
Jarum jam berdetak serasa lebih cepat dari biasanya. Di ruang tamu yang tidak begitu besar, semua orang berkumpul. Seorang perempuan paruh baya sedang menyetrika baju, anak perempuan kecilnya yang bernama Zahra sedang membaca buku. Sedang anak lelakinya yang bernama Yoga sedang belajar karena besok Ujian Sekolah dimulai.
“Yoga, nanti ingin melanjutkan ke SMP mana?” Tanya Perempuan yang bernama Suharti. Sebenarnya Perempuan itu sudah tahu mau kemana putranya melanjutkan sekolah, hanya saja ia ingin meyakinkan lagi, apakah tetap sama atau berpindah arah.
“Yoga ingin melanjutkan ke SMPN 2 Ponorogo, Bu.” Jawab putranya dengan nada Bahagia. SMPN 2 Ponorogo adalah Sekolah terfavorit yang menjadi mimpinya sejak ia duduk di bangku kelas 4. Bukan karena jarak rumah yang dekat, tapi ada keistimewaan di SMPN 2 Ponorogo yang membuatnya tertarik untuk berjuang agar bisa masuk ke sekolahan itu. Perempuan paruh baya itu tersenyum mendengar jawaban putranya. Dalam hati ia selalu berdoa, semoga keinginan putranya selalu tercapai. Di tengah kecanggihan tekhnologi yang semakin maju pesat, ia tidak ingin putranya tertinggal dalam hal ilmu. Apapun akan ia lakukan agar bisa memberikan Pendidikan terbaik untuk putranya.
Malam selalu menghadirkan sunyi. Kesunyian yang selalu dipergunakan seorang Ibu untuk mengadu segala rasa resah pada pemilik hati-Nya. Puas mengadu, Perempuan itu memasuki kamar putranya, memandang malaikat kecil yang selalu semangat dalam setiap hal. Tak pernah ada kata menolak saat ia meminta bantuan. Sampai tak terasa airmata Suharti menetes. Bulir-bulir bening itu membasahi kedua pipinya.
Yoga sedang menikmati sarapan pagi dengan adiknya. Walaupun pagi ini hanya ada lauk telur dan tempe, tak membuat lelaki itu melewatkan sarapan. Karena sarapan pagi adalah sumber energi. Setelah selesai menyantap, ia bergegas menuju dapur. Mencuci piring bekas ia makan. Lalu menaruhnya ke tempat yang sudah tersedia, sebuah rak piring dari kayu.
“Bu, Yoga berangkat dulu.” Pamitnya pada Suharti yang terlihat merapikan tempat ia menyetrika. Lelaki itu mencium tangan ibunya.
Saat melewati gerbang sekolah terfavorit menurutnya, Yoga berhenti, lelaki itu tersenyum. Banyak gambaran yang sudah memenuhi kepalanya, jika ia masuk SMPN 2 Ponorogo. Salah satunya ingin tergabung dalam group futsal Dapo. Dia sudah membayangkan memakai seragam juga tas yang berlogo SMPN 2 Ponorogo. Tiba-tiba seorang lelaki berpakaian rapi menegurnya.
“Selamat Pagi, Nak?” Sapa lelaki itu ramah. Yoga tersenyum lalu menyalami tangan lelaki itu.
“Pagi juga, Pak.” Jawabnya.
“Bapak perhatikan, kamu senyum-senyum sendiri sambil memandang bangunan ini. Apakah berminat masuk SMPN 2 Ponorogo?” Tanya lelaki itu secara gamblang. Lagi-lagi Yoga tersenyum, lalu menganggukkan kepala.
“Bapak doakan semoga keinginanmu tercapai dan semangat terus dalam menuntut ilmu.” Lelaki itu mengusap kepala Yoga dengan sayang. Dalam hati Yoga mengaminkan doa seorang lelaki yang berdiri dihadapannya. Lalu berpamitan, melanjutkan langkah kaki menuju sekolah tempat ia menuntut ilmu saat ini.
“Bu, apakah Yoga akan tetap masuk ke SMPN 2 Ponorogo?” tanya ayah Yoga.
“Dia tetap pada pendiriannya, Pak. Padahal….” Suharti tidak meneruskan kalimatnya. Perempuan paruh baya itu duduk disamping suaminya. Pandangannya menerawang jauh, ada ketakutan dalam hati yang ia sulit ungkapkan.
“Bu, kemarin saat di kandang kambing, bapak tidak sengaja mendengar obrolan Yoga dengan dua kambing kesayangannya. Jika sudah waktunya penerimaan peserta didik baru, kambing itu akan berganti tuan. Karena uang hasil penjualan, akan ia pergunakan untuk membeli seragam dan alat sekolah lainnya.” Ucap Wahyudi ayah Yoga.
“Berarti usahanya selama ini, mencari rumput pada sore hari dan berlama-lama di kandang kambing, untuk itu.” Wahyudi mengangguk. Suharti menangis dalam diam. Ia tidak menyangka, anak lelakinya mempunyai pemikiran setingkat orang dewasa. Disaat teman seusianya bebas bermain kesana kemari, tetapi anak lelakinya mencari rerumputan untuk masa depan.
Ia merasa bangga memiliki anak laki-laki bernama Yoga. Selalu membantu orang tua, bahkan kebutuhan sekolahpun ia berusaha mencukupi dengan hasil tabungan yang ia kumpulkan dari uang jajan. Mungkin, disaat yang lain merasa malu dengan keadaan yang pas-pasan. Tidak dengan Yoga, dengan gigih ia berusaha mencari usaha yang nantinya bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Sekolah terfavorit bukan hanya bangunan yang terlihat megah dari luar. Tapi banyak keanekaragaman ilmu yang bisa di berikan pada anak didiknya. Mengukir banyak prestasi yang membanggakan. Dan tentunya generasi berpendidikan yang terdidik adalah asset besar untuk memajukan bangsa.